Berita Sepakbola Terlengkap

Berita Sepakbola Terlengkap Indonesia

Mengapa Pelatih Non-Eropa Kerap Gagal di Liga Inggris?

Di saat mayoritas klub Liga Inggris mempekerjakan manajer asal Eropa, Tottenham justru menggaet pelatih asal Australia, Ange Postecoglou. Tapi Spurs tak sendirian. Klub yang sedang krisis jati diri, yaitu Chelsea juga mempekerjakan Mauricio Pochettino, pelatih asal Argentina. 

Padahal di persepakbolaan inggris ada persepsi buruk tentang pelatih-pelatih non-Eropa. Menurut sejarahnya, Pelatih-pelatih dari negara non-Eropa selalu gagal di Inggris. Selama itu pula, Premier League jadi dikenal sebagai kompetisi yang tak ramah bagi pelatih-pelatih non-Eropa. Tapi kenapa begitu ya?

Tapi Mengapa?

Sampai detik ini belum ada jawaban konkret soal kenapa Inggris dianggap tak ramah bagi pelatih-pelatih di luar Eropa. Para pelatih yang berasal dari negara non-Eropa dianggap tak mampu berbicara banyak di kasta tertinggi Liga Inggris.

Padahal kalau melihat pemain-pemain non-Eropa, mereka malah gacor di Inggris. Dilansir Goal, ternyata klub-klub Liga Inggris memang cukup menghindari mempekerjakan pelatih asal negara-negara Benua Amerika atau Afrika. Buktinya, pelatih non-Eropa yang berkarir di Inggris cuma hitungan jari. Mereka lebih menggemari pelatih-pelatih asal Jerman, Spanyol, dan Italia.

Yang bisa dipastikan, itu bukanlah soal rasisme atau sentimen tersendiri kepada warga negara non-Eropa. Karena pada dasarnya klub-klub Inggris juga jarang menggunakan pelatih asal negaranya sendiri. Hal itu karena kebanyakan klub-klub Inggris menganggap pelatih-pelatih lokal minim kemampuan teknis dan kreativitas dalam sepakbola.

Kita bisa lihat, meski Inggris memiliki kompetisi sepakbola yang sangat baik, mereka belum menghasilkan pelatih-pelatih jempolan. Sedikit dari pelatih Inggris yang berhasil abroad dan melatih tim-tim di liga-liga top Eropa lain. 

Stereotip “Ted Lasso”

Nah, begitulah yang dirasakan oleh pelatih-pelatih non-Eropa. Khusus pelatih asal Amerika Serikat lebih parah lagi. Berasal dari negara yang sepakbolanya kurang populer, membuat keilmuan sepakbola mereka sangat diragukan oleh klub-klub Liga Inggris.

Untuk memudahkan penyebutan fenomena tersebut, beberapa pengamat bola beranggapan kalau pelatih-pelatih asal Amerika Serikat terkena stereotip “Ted Lasso”. Karena memiliki latar permasalahan yang sama dengan tokoh fiksi yang diperankan oleh Jason Sudeikis tersebut. 

Series yang pertama kali dirilis pada tahun 2020 itu memang menceritakan tentang pelatih asal Amerika Serikat yang kemampuannya tak dihargai di Inggris. Itu situasi yang sama dengan apa yang dialami oleh pelatih-pelatih Amerika Serikat di Liga Inggris saat ini.

Stereotip tersebut meledak bersamaan dengan ditunjuknya Jesse Marsch sebagai pelatih Leeds United pada tahun 2022 kemarin. Kedatangan pelatih asal Amerika Serikat itu mendapat respons yang kurang positif dari fans lawan dan beberapa media. Orang Amerika dianggap tak tahu tentang sepakbola. 

Persepsi negatif itu sama dengan apa yang dirasakan Lasso. Seorang pelatih American Football yang tak tahu apa-apa soal sepakbola tiba-tiba disuruh ngelatih klub asal Inggris, AFC Richmond. Praktis media-media langsung menghajarnya dengan kata-kata kasar sehingga memunculkan sinisme kepadanya.

Bedanya, Lasso memiliki ending yang cukup manis. Ia membawa Richmond berprestasi dan disegani di tanah Britania Raya. Di salah satu episodenya, ia yang bukan siapa-siapa bahkan sampai mendapat pengakuan dari seorang Pep Guardiola. Sedangkan di dunia nyata, pelatih asal Negeri Paman Sam tetap kesulitan untuk mendapat respect di sepakbola Inggris.

Akses dan Lisensi

Tentu bukan hanya soal stigma buruk saja. Pelatih asal negara non-Eropa menghadapi masalah yang lebih besar dari itu. Mereka mendapat perlakuan yang sedikit berbeda dengan pelatih dari Eropa soal mendapatkan lisensi dari UEFA. Hal ini juga sempat dikeluhkan oleh Jesse Marsch.

Dilansir BBC, untuk melatih klub Inggris, seorang pelatih harus memiliki lisensi Pro UEFA. Nah, untuk mendapatkannya sangat sulit. Apalagi bagi pelatih non-Eropa. Untuk mendapatkan lisensi tertinggi dalam kepelatihan itu, pelatih non-Eropa harus menghabiskan 240 jam plus 90 jam untuk mempelajari hal-hal praktis. Termasuk menjalani tes yang susahnya bukan main.

Mereka harus memahami modul pembelajaran. Mereka juga akan belajar bagaimana cara menggabungkan teknologi dengan ilmu sepakbola, menganalisa kekuatan dan kekurangan lawan, serta bagaimana menghadapi masalah yang dihadapi pemain. Mereka juga bakal diajari bagaimana cara mengatasi ego pemain-pemain bintang.

Untuk mendapatkan lisensi Pro UEFA, pelatih non-Eropa harus sedang menjadi pelatih kepala suatu tim saat mengajukan kursus lisensi Pro UEFA. Atau setidaknya, mereka sudah mengantongi pengalaman melatih sepakbola selama 10 tahun. Pada intinya pelatih yang berasal dari negara di luar naungan UEFA bakal susah mendapat validasi dari UEFA.

Bukan Profesi yang digemari

Serba sulit membuat profesi pelatih tak jadi favorit di berbagai negara, salah satunya Brazil. Kendati digembar-gemborkan sebagai kiblat sepakbola, Brazil nyatanya jarang melahirkan pelatih sepakbola kelas wahid. Hal itu karena profesi ini tidak memiliki jenjang karir yang jelas.

Berkarir sebagai pelatih di Brazil tak begitu menjanjikan. Bahkan kabarnya mereka mendapat gaji yang tak seberapa. Mereka harus melatih timnas lebih dulu untuk mendapatkan gaji yang tinggi. 

Oleh karena itu pula kita tak melihat bintang-bintang sepakbola Brazil yang berjaya di Eropa seperti Ronaldo, Ricardo Kaka, atau Roberto Carlos terjun ke dunia kepelatihan setelah memutuskan gantung sepatu.

Mereka lebih milih jadi duta mantan klubnya atau bahkan brand ambassador suatu brand ternama. Soal mengapa Brazil tidak banyak menghasilkan pelatih sukses, selengkapnya bisa ditonton di video Starting Eleven sebelumnya. 

Yang Gagal

Tentu butuh validasi apakah benar kalau Liga Inggris merupakan kompetisi yang kurang ramah bagi pelatih yang berasal dari negara-negara non-Eropa. Tak sulit untuk memberikan contoh. Selain Jesse Marsch, nama-nama berikut adalah contoh pelatih non-Eropa yang gagal di Inggris.

Yang pertama adalah Luiz Felipe Scolari. Pelatih yang pernah membawa Brazil juara Piala Dunia tahun 2002 itu dicap gagal total ketika menukangi Chelsea. Datang pada tahun 2008, ia hanya bertahan beberapa bulan saja sebelum akhirnya dipecat oleh Roman Abramovich.

Lalu ada Marcelo Bielsa. Pelatih kawakan asal Argentina itu membawa Leeds juara Divisi Championship dan kembali ke kasta tertinggi musim 2019/20. Tapi gagal total di kasta tertinggi Liga Inggris. Metode Bielsa dinilai kaku dan sudah usang termakan zaman dan akhirnya dipecat pada Februari 2022. 

Jauh sebelum Marsch, David Wagner sudah lebih dulu berkarir di Inggris bersama Huddersfield. Ia hanya bertahan dua musim sebelum akhirnya dipecat karena timnya kembali terdegradasi pada musim 2018/19. Bahkan kiprah Mauricio Pochettino di Southampton dan Tottenham juga dianggap gagal. Karena dirinya tak pernah memenangkan satu trofi pun di Inggris.

Anomali Pellegrini 

Barangkali satu-satunya pelatih non-Eropa yang sukses di Liga Inggris adalah Manuel Pellegrini. Pelatih asal Chile itu memenangkan tiga trofi bergengsi termasuk satu trofi Liga Inggris musim 2013/14 bersama Manchester City. Prestasinya tercatat di buku sejarah tapi kehebatannya masih tetap diragukan. 

Ia sukses karena melatih tim sekaliber City yang kala itu bermandikan pemain-pemain bintang. Selain itu, beberapa pihak menganggap kalau Pellegrini masih memiliki darah Italia, jadi, meski berkewarganegaraan Chile, dirinya bukanlah murni orang non-Eropa.

Riwayat buruk pelatih-pelatih non-Eropa membuat tim-tim Liga Inggris semakin jarang menggunakan pelatih dari benua lain selain Eropa. Tapi, di musim depan ada dua tim London yang mempercayakan masa depannya ke tangan pelatih non-Eropa. Mereka adalah Tottenham dan Chelsea. Patut dinantikan, apakah Pochettino dan Ange bisa mematahkan stigma buruk tersebut atau tidak.

Sumber: Planetfootball, Sporting News, CBSS, Goal, ESPN

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *