Berita Sepakbola Terlengkap

Berita Sepakbola Terlengkap Indonesia

Kemunduran FC Basel, Raksasa Liga Swiss yang Kini Terancam Degradasi

Ada suatu masa di mana FC Basel begitu mendominasi Liga Super Swiss. Total 8 trofi Liga Super Swiss berhasil diraih Basel secara beruntun dari musim 2011 hingga 2017.

FC Basel sendiri merupakan klub kedua tersukses di Negeri Palang Merah setelah Grasshopper. Total, klub berjuluk RotBlau itu sudah 20 kali menjuarai Liga Swiss dan 13 kali menjuarai Piala Swiss.

Selain itu, Basel juga dikenal luas sebagai salah satu penghasil talenta terbaik di dunia sepak bola. Alexander Frei, Fabian Frei, Gokhan Inler, Ivan Rakitic, Xherdan Shaqiri, Yann Sommer, hingga Granit Xhaka adalah beberapa pemain kelas dunia yang diproduksi oleh akademi Basel. Basel juga merupakan klub pertama yang mengorbitkan Mo Salah di benua biru.

Dengan semua prestasi dan nama besar yang dimiliki, agaknya cukup sulit untuk membayangkan FC Basel dapat mengalami kemunduran prestasi. Namun, seperti itulah nasib mereka saat ini. Raksasa Liga Swiss itu kini tengah terjerumus di dasar klasemen Liga Super Swiss dan tengah terancam degradasi.

Semua Gara-Gara Bernhard Burgener

Kemunduran yang dialami FC Basel bermula di musim panas 2017. Saat itu, mantan presiden Bernhard Heusler menjual saham kepemilikannya kepada Bernhard Burgener. Pada rapat umum tahunan klub, Burgener kemudian terpilih menjadi presiden FC Basel.

Mundurnya Heusler diikuti oleh sang direktur olahraga, Georg Heitz. Dua figur inilah yang membuat RotBlau 8 kali beruntun menjuarai Liga Super Swiss.

Burgener lalu menunjuk Marco Streller sebagai direktur olahraga yang baru, serta menunjuk direktur keuangan dan pemasaran yang baru. Ia juga memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Urs Fischer, pelatih yang membawa Basel 2 kali juara liga. Pada intinya, manajemen baru ingin punya timnya sendiri, termasuk ingin punya pelatih sendiri.

Burgener juga ingin agar Basel kembali fokus pada pemain lokal hasil didikan akademi dan melakukan penghematan dengan cara memotong biaya gaji. Langkah tersebut memaksa beberapa pemain lama harus angkat kaki.

Basel kemudian mengangkat pelatih tim muda, Raphaël Wicky sebagai nahkoda baru. Meski di musim 2017/2018 Basel mampu menembus babak 16 besar UCL, tetapi mereka kesulitan di liga. Dengan tim yang pincang, Basel hanya mampu finish di tempat kedua dan mengakhiri musim tanpa gelar. Raphaël Wicky kemudian dipecat setelah Basel gagal lolos ke Liga Champions.

Basel kemudian menunjuk Marcel Koller sebagai pelatih untuk musim 2018/2019. Masih sama seperti musim sebelumnya, manajemen baru kembali menjual beberapa bintang Basel. Hasilnya, Basel kembali tampil pincang.

Untuk kali pertama dalam 14 tahun, FC Basel tidak lolos ke kompetisi Eropa setelah pasukan Marcel Koller kalah dari Apollon Limassol di babak play-off Liga Europa. Basel yang sempat menelan kekalahan 7-1 dari Young Boys akhirnya kembali finish di peringkat kedua. Untungnya, Koller masih mampu membawa Basel menjuarai Piala Swiss di akhir musim.

Namun, meski mampu menjuarai Piala Swiss, para penggemar tetap tidak puas. Apalagi, di tengah situasi tim yang seret prestasi dan hasil buruk di atas lapangan, Burgener justru memutuskan untuk berinvestasi dengan membeli saham klub India, Chennai City FC. Dari sinilah sosok Burgener makin dibenci dan gelombang protes yang disuarakan para penggemar Basel mulai nyaring terdengar.

Namun, ketegangan tak hanya terjadi di luar, tetapi juga di dalam internal klub. Ketegangan terjadi akibat keputusan Burgener yang mengangkat kembali Marcel Koller yang sudah dipecat oleh direktur olahraga Marco Streller. Streller kemudian memutuskan untuk meninggalkan jabatannya. Saat itu, komunikasi klub juga sangat buruk.

Singkat cerita, di akhir musim 2019/2020, Koller dipecat dan diganti Ciriaco Sforza setelah kembali gagal mempersembahkan trofi. Basel hanya finish di tempat ketiga, kalah di final Piala Swiss, dan terhenti di babak 8 besar Liga Europa.

Musim 2020 juga berlangsung kurang baik akibat pandemi Covid-19. Berkurangnya pendapatan akibat tidak adanya penonton membuat dewan direksi ingin memotong gaji pemain. Sekali lagi, akibat buruknya komunikasi, ketegangan internal kembali terjadi setelah para pemain menolak keputusan sepihak tersebut.

Drama baru juga kembali terjadi di musim 2020/2021. Saat itu, Bernhard Burgener berniat untuk menjual sahamnya kepada sebuah perusahaan investasi asal Inggris. Rencana tersebut berbuah demonstrasi besar yang digelar para penggemar Basel di depan stadion St. Jakob-Park.

Protes dari para fans Basel bukanlah tanpa alasan. Memang, mereka sangat membenci Burgener. Namun, sepak bola Swiss punya sejarah buruk ketika ada campur tangan investor asing. FC Wil, Xamax, hingga Grasshopper adalah beberapa klub yang pernah hancur gara-gara diurus investor asing. Para pendukung Basel jelas tak mau klub kesayangan mereka bernasib sama.

Gelombang protes besar pun mereda ketika legenda klub, David Degen dan beberapa rekannya mengambil alih saham kepemilikan Bernhard Burgener pada 11 Mei 2021. Legenda Basel lainnya, Reto Baumgartner kemudian terpilih sebagai presiden baru FC Basel. Kabar baik itu lalu dirayakan dengan suka cita oleh para penggemar Basel.

Akan tetapi, apakah nasib FC Basel membaik setelah Burgener berhasil disingkirkan?

Basel Pasca Era Burgener: Jadi Juru Kunci dan Terancam Degradasi

Faktanya, musim 2020/2021 berjalan buruk bagi RotBlau. Di bawah asuhan Ciriaco Sforza, Basel tampil sangat buruk. Penggantinya, Patrick Rahmen juga sama buruknya. Basel kembali nirgelar. Mereka hanya finish di tempat kedua, langsung terhenti di ronde ketiga Piala Swiss, dan gagal menembus fase grup Liga Europa.

Di musim berikutnya, Basel yang ditangani Guillermo Abascal kembali mengakhiri liga di peringkat kedua. Mereka juga kembali terhenti di ronde ketiga Piala Swiss dan gagal menembus fase grup Liga Konferensi Eropa. Abascal kemudian dipecat dan digantikan oleh Alexander Frei.

Frei juga hanya bertahan 6 bulan. Kontraknya diputus pada Februari 2023 setelah FC Basel duduk di peringkat 7 Liga Super Swiss. Posisinya kemudian diambil alih oleh Heiko Vogel yang sekaligus merangkap jabatan sebagai direktur olahraga. Singkat cerita, Basel dengan susah payah mengakhiri musim 2022/2023 di posisi kelima dan mencapai babak semifinal Liga Konferensi Eropa. Artinya, Basel kembali mengakhiri musim tanpa trofi.

Untuk mengembalikkan kejayaan tim, Basel untuk kesekian kalinya kembali berganti pelatih di awal musim 2023/2024. Namun, secara mengejutkan, Basel justru menunjuk Timo Schultz.

Sebelum menangani Basel, Schultz tak punya prestasi apapun. Persentase kemenangannya saat menangani St. Pauli selama lebih dari 2 tahun bahkan kurang dari 40%.

Hasilnya, Schultz hanya membawa FC Basel menang sekali dalam 7 pertandingan Liga. Ia juga gagal meloloskan Basel ke fase grup Liga Konferensi Eropa. Secara mengejutkan, Basel yang musim lalu menjadi semifinalis, kalah dari wakil Kazakhstan, FC Tobol, di ronde kedua kualifikasi.

Schultz akhirnya dipecat dan sang direktur olahraga, Heiko Vogel, kembali turun gunung untuk menjadi pelatih interim. Sayangnya, Vogel tak bisa menghentikan laju kemunduran FC Basel.

Di laga pekan ke-9, Basel takluk 3-0 dari Stade Lausanne dan di pekan selanjutnya, mereka kembali kalah dengan skor yang sama di kandang Young Boys. Pasca kekalahan tersebut, para fans Basel yang hadir di kandang Young Boys sudah tak kuasa lagi menahan kemarahannya.

Dua kekalahan terakhir itulah yang membuat FC Basel duduk di dasar klasemen Liga Super Swiss musim ini. Dari 9 pertandingan, RotBlau baru menang sekali dan imbang 2 kali. Baru mencetak 13 gol dan sudah 21 kali kebobolan, Basel adalah tim dengan pertahanan terburuk kedua di Liga Super Swiss musim ini.

Lalu, faktor apa saja yang membuat FC Basel kini terancam degradasi?

Usut punya usut, David Degen dan rekan-rekannya ternyata belum sepenuhnya selesai membangun ulang kekuatan internal Basel pasca hancur lebur di era Bernhard Burgener. Salah satu warisan Burgener yang membuat Basel mengalami kemunduran adalah kondisi finansial klub yang merugi. Di tahun 2023 ini, Basel masih mengalami defisit hingga 15 juta franc atau lebih dari Rp 260 miliar.

Kondisi tersebut masih memaksa Basel untuk terus menjual pemain bintangnya di tiap musim. Seperti di musim ini di mana Basel menjual Zeki Amdouni, Dan Ndoye, Andy Diouf, dan Riccardo Calafiori. Kepergian mereka membuat Basel kekurangan pemain berkualitas. Masalahnya, kualitas para pemain baru yang datang punya tidak sepadan.

Basel juga seperti kehilangan identitas. Dari 30 pemain, 20 di antaranya adalah pemain asing dan hanya ada 5 pemain saja yang pernah lulus dari akademi FC Basel.

Basel sebetulnya masih punya beberapa pemain senior, seperti Fabian Frei, Taulant Xhaka, Marwin Hitz, dan Michael Lang. Namun, Marwin Hitz sendiri mengakui kalau hengkangnya beberapa pemain kunci Basel musim lalu telah menimbulkan masalah di ruang ganti. Fakta lainnya, beberapa pemain senior Basel memang tidak akur, seperti Taulant Xhaka dan Fabian Frei yang pernah terlibat cekcok.

Tak bisa dipungkiri pula kalau sejak melepas Urs Fischer, FC Basel agak sembrono dalam menunjuk pelatih. Total, 8 pelatih berbeda sudah menangani Basel sejak musim panas 2017. Hengkangnya pemain kunci dan penunjukan pelatih yang serampangan adalah kombinasi pas yang membuat laju kemunduran FC Basel sulit untuk dihentikan. Basel yang dulu selalu jadi langganan UCL, kini bahkan sulit menembus fase grup UECL.

Untuk itulah manajemen baru pimpinan David Degen juga patut dikritisi. Sejauh ini, mereka telah gagal meyakinkan para fans. Faktanya, rata-rata penonton Basel di laga kandang telah menurun sekitar 3.000 penonton dibanding musim sebelum pandemi Covid. Manajemen baru juga sudah beberapa kali mengingkari janji mereka.

Andreas Rey, salah satu pemegang saham FC Basel pernah berjanji, “Kami yakin bahwa pada akhir tahun 2024 kami akan membangun klub sedemikian rupa sehingga semua kesalahan di masa lalu dapat diselesaikan. Kemudian klub akan kembali ke tempatnya semula.” Namun, apakah janji tersebut bisa terpenuhi?

2024 rasa-rasanya terlalu lama bagi para penggemar Basel yang kesabarannya telah menipis setipis tisu. Jika tren buruk terus berlanjut, mungkin usaha yang manajemen baru lakukan akan berakhir sia-sia jika FC Basel gagal menyelamatkan diri dari ancaman degradasi musim ini.


Referensi: Ultras-Tifo, Watson, Football Business Inside, Fotmob, Blick.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *